Minggu, 05 Januari 2014

cahaya ku

Urgensi Amal Yaumiyah Versi kawan dermawan dalam berkah Edisi (kader dakwah)

Dec 22nd 2013, 3:16 am
Posted by engkan
Bismillah,
Saat aku awali pagi hari dengan kegelisahan maka aku akan mengalami kegelisahan yang berkepanjangan jika aku tak pintar-pintar mengelola kegelisahan itu. Aku teringat hari itu saat aku masih berada dalam kegelapan, entah aku berada dimana. Aku tenggelam dalam kesendirian yang mendalam. Mataku menatap kosong, pikirku juga kosong. Hari itu aku benar-benar tenggelam dalam lamunanku. Duduk kaku di sebuah bangku taman kampusku. Menghela nafas panjang, entah harus kemana aku beranjak pergi. Hidupku terasa hampa. Hari itu masih pagi, tapi aku masih asyik dalam lamunanku, padahal yang aku lakukan hanya menatap ruang-ruang kosong dihadapanku. Semilir angin menyadarkan ku dari lamunan, sontak aku tersadar. Mulai ku melihat sekitar ruang kampusku. Tersadar, apa yang sedang aku lakukan tadi. Aku menghela nafas panjang untuk kali ini. Mulai ku gerakkan tubuhku dan berdiri, lalu beranjak pergi dari bangku taman itu. Berjalan semakin jauh dari bangku taman itu. Namun, saat aku berjalan aku berpikir akan kemanakah kaki ini berjalan? Hati ini mulai mengalami kegundahan, kegelisahan, dan kegalauan yang mendalam. Tak kuasa dengan apa yang aku alami aku berlari kencang menyusuri jalanan kampus. Aku melewati bangunan megah disekitar kampusku, namun kini kaki ku terhenti disebuah bangunan klasik ala timur tengah dengan hiasan beberapa kaligrafi yang indah berwarna hijau. Aku tergopoh-gopoh dan tertunduk lemas, sekiranya aku sudah mengeluarkan energi terlalu banyak untuk berlari. Aku memegang kakiku yang bergetar, dan seketika tubuhku kaku. Brugh. Tubuhku terjatuh tepat didepan bangunan itu. Aku tak sadarkan diri.
Entah mengapa pagi itu suasana kampus begitu sepi. Apa karena cuaca hari itu begitu mendung seakan rintikan hujan akan datang keroyokan membasahi bumi. Tapi ternyata hanya awan mendung saja. Selang beberapa menit kemudian, awan mendung itu berarak-arak kian pergi. Seakan giliran sang mentari menampilkan dirinya, awan mendung itu pergi dan sang mentari muncul dengan perlahan. Cahayanya menerangi bumi yang tadi meredup, kini seakan bersinar begitu terang. Panasnya mulai terasa membakar tubuhku, dan cahayanya menyoroti wajahku. Aku mulai tersadar dan perlahan membuka mataku, spontan tangan ku menutupi wajahku karena sinarnya menyilaukan mataku. Aku bangun dari ketidaksadaranku dan mulai melumaskan tubuhku, sepertinya tubuhku terjatuh begitu keras karena tubuhku terasa remuk. Aku berusaha untuk berdiri sambil menahan sakitku. Perlahan aku mendekat pada sebuah pintu utama bangunan itu. Aku berusaha memegang daun pintu itu, hendak membukanya. Setelah dapat ku raih, aku mencoba membukanya dengan perlahan karena tanganku begitu terasa kaku. Trek. Suara pintu yang terbuka. Aku membukanya lebar. Saat pintu itu terbuka pandanganku mulai menyapu sekeliling ruangan. Arsitektur yang klasik dan sederhana tak ada kesan sebuah keangkuhan, yang ada sebuah kemegahan yang nyata. Aku melihat langit-langit atapnya berwarna biru teduh terasa beratapkan kaca dan menembus kelangit biru. Aku mulai melangkahkan kaki kananku kedalam bangunan itu. Lagi lagi pandanganku melihat sekitar. Seketika terasa ada suara yang menggema didalam bangunan itu, perlahan kaki ini melangkah mencari sumber suara itu.
Ruangan yang begitu luas, dihiasi tiang-tiang besar yang kokoh. Terlihat tiang itu begitu kuat, seakan menyanggah langit yang luas. Perlahan aku melangkahkan kakiku dan mencari sumber suara itu. Semakin ku melangkahkan kaki semakin suara itu mengeras. Terdengar lantunan ayat suci yang begitu indah. Sampailah aku didepan ruang kecil, sebuah mihrob yang klasik dengan warna dinding yang tidak begitu mencolok. Aku melihat seorang pemuda yang sedang asyik melantunkan ayat-ayat cinta-Nya. Begitu merdu membuat aku merasa tenang, sejuk, damai. Senyumku tersimpul diwajah lusuhku.
Keadaan pagi dibangunan itu begitu sepi, sampai akhirnya karena nafasku yang tergopoh-gopoh, membuat pemuda itu berhenti dalam lantunannya. Tersadar seperti ada yang sedang meperhatikannya. Dengan perlahan dia membalikan badannya. Sepasang bola mata kini bertemu dalam cahaya kasih-Nya.
“Akh taufiq!” pemuda itu memanggil namaku dengan wajah yang heran. Dia terbangun dalam duduknya dan merangkul tanganku mengajak untuk duduk bersamanya, tepat dekat mihrob itu saling berhadapan satu sama lain. “Akh, apakah kau baik-baik saja?” dia bertanya dengan penasaran. Aku hanya terdiam. Karena aku benar-benar sedang dalam kebingungan. “Tunggu sebentar, aku akan segera kembali” timpalnya kembali. Dia beranjak dan pergi, berlari kecil kesebuah pintu yang tak begitu jauh dari mihrob itu. Aku masih saja terdiam dan tertunduk. Selang beberapa menit, dia pun keluar dari pintu itu dan datang kembali menghampiriku dengan membawakan ku segelas air putih. Lalu dia duduk dihadapanku kembali, sembari menyodorkan air putih itu, “baca basmallah dulu, ayo minum.” Aku menerima segelas air putih itu dan segera aku mengucap basmallah, lalu aku tegukkan airnya kedalam rongga-rongga tenggorokanku terasa nikmat, sejuk, dan hilanglah sudah rasa dahaga ini. Saking hausnya air segelas itu habis. Ini adalah air yang paling nikmat yang pernah aku rasakan. Entah mengapa ini terasa begitu nikmat.
“ Akh taufiq!” kembali dia memanggil namaku. Aku menatapnya dan berkata, “Ya”. Dia menghela nafas lega, aku lihat dia begitu khawatir pada keadaanku. Dia menatapku lamat-lamat dan berkata, “ Adakah yang ingin hendak kau ceritakan?”. Aku tertunduk dan bingung. Dia tersenyum, “Ya sudah, sekarang coba kau baringkan tubuhmu dan beristirahatlah sebentar” sambil menepuk pundakku. Aku pun mengangguk. Lalu ku baringkan tubuhku yang kaku dan mencoba untuk merelaksasinya. Dia kembali mengambil musyafnya dan melanjutkan lantunan ayat-ayat cinta-Nya. Suaranya begitu merdu, seakan merelaksasi pikiranku dan merasuk kedalam jiwa. Perlahan mataku mulai berat, aku ingin menahan rasa kantuk ini. Tapi, entah mengapa ini terasa begitu nikmat. Kini mataku terpejam.
*
“Akh taufiq! Bangun akh!” dia mengusap-usap tubuhku dengan lembut. Dia tak berubah masih saja seperti dulu. Selalu bersikap begitu lembut. Perlahan aku membuka mata dan menghela nafas panjang. Saat ku membuka mata, kulihat senyuman tersimpul diwajahnya. Aku bangun dari tidurku, dan mencoba duduk tegak sambil meregangkan otot-otot tubuhku yang terasa kaku. Kini setelah beristirahat sebentar otot-ototku terasa ringan. Kembali aku menatapnya dan ku balas senyumannya. “ Yuk ambil wudhu, kita shalat dhuha bareng” sambil merangkul tanganku. Ku lihat jam dinding didekat mihrob, waktu menandakan pukul 09.00 a.m. tak terasa tadi tidurku lelap, tapi begitu efektif hanya membutuhkan satu jam saja. Dia menarik tanganku membantuku untuk bangun dari tempat dudukku. Dan mengajakku ke tempat dimana air berada untuk mengambil wudhu. Sebelum mengambil wudhu dia memberiku beberapa kain, sarung kotak-kotak putih coklat dan baju koko berwarna putih tulang untuk aku kenakan shalat dhuha, karena tidak mungkin juga aku berhadapan dengan Sang Malik dengan keadaan baju lusuh dan kotor.
Setelah aku mengganti pakaianku, aku mulai mengguyur air ke wajahku yang lusuh, kurasakan kesejukan dan begitu merasuk dalam kalbu. Setelah selesai berwudhu kami beranjak kembali ke tempat shaff dekat mihrob.
Allohuakbar. Takbiratulikhram mulai saling bersahutan. Entah kurasakan begitu nikmatnya, tak terasa air mataku mulai terjatuh dipipiku. Setiap takbirnya aku tak dapat menahan air mata ini. Teringat akan setiap dosa yang ku lakukan. Setiap sujud tiba aku mulai merasakan kedamaian, tak kuasa aku menahan kembali air mata ini. Kini air mata itu membanjiri pipiku.
Assalamu’alaikum warohmatulloh. Akhir yang begitu damai.
Dia menepuk pundaku, “Akh, kau mulai membaik.” Ucapnya sambil tersenyum. Tak kuasa aku menahan, aku merangkul dan memeluk tubuhnya. Dia pun memeluku dengan erat sambil mengelus-eluskan tangan lembutnya ke pundakku. “Semuanya akan baik-baik saja, akh” ucapnya dengan lirih. Dia melepaskan pelukannya dan memegang pundakku kuat, ia berkata “ Sudahlah akh, tak ada lagi drama-drama cengeng. Jangan terlalu berlarut dalam kesedihan. Bukankah kau tahu Allah kurang menyukainya?” aku mengangguk dan menghapus air mataku.
“Akh!” aku memanggilnya lirih. “Ya.” Ia menjawabnya sambil menatapku lamat-lamat. Aku memberanikan diri untuk memulai ceritaku. “Akhir-akhir ini hidupku terasa sukar. Seakan memikul beban yang sangat berat. Saat aku diberikan amanah untuk berdakwah pada orang sekitar, aku merasa tertekan karena ketidaksiapanku. Aku ingin lari layaknya pecundang, tapi sesaat aku bingung haruskah aku berlari kemana? Apa aku sedang futur akh. Dulu terasa saat aku menyampaikan banyak hal tentang Islam pada adik-adik kita, aku begitu khawatir apa yang aku katakan tidak sesuai dengan apa yang aku kerjakan, aku takut akan murka Allah padaku. Aku merasa aku sudah terlalu jauh berjalan tapi aku tak tahu apa esensi dari apa yang sudah aku alami. Terasa begitu hambar.” Aku terhenti tak kuasa meneruskan kembali ceritaku padanya. Dia menepuk-nepuk pundaku dengan lembut dan berkata, “Akh, luruskan niatmu dan fokuslah pada Allah semata. Karena kegalauan, kegundahan dan kegelisahan yang terjadi padamu sekarang bisa jadi karena kau sedang tidak fokus pada Allah. Akh, objek dakwah kita yang pertama adalah diri kita sendiri. Diri kitalah yang harus selalu senantiasa mengajak diri ini melaksanakan ibadah wajib dengan baik, menyempurnakan ibadah wajib dengan melaksanakan ibadah sunnah, dan selalu senantiasa tilawah qur’an dikala keadaan kita sedang lapang ataupun sempit. Diri kitalah yang harus menjadikan diri ini seorang ‘syakhsyiyatul islamiyyatush sholihatud da’iyah’ pribadi Islam, sholeh, menjadi seorang da’i. Ini memang perkarang yang tiadalah mudah, karena semuanya berawal dari dalam diri ini. Tapi apabila kita mulai mencobanya dengan sungguh-sungguh Insya Allah, Allah akan memberikan kemudahan. Dan kau tahu jalan menuju kesholehan kita yakni minhaj asasi (dasar) hidup kita yaitu Al-Qur’an.” Dia menatapku dengan kesungguhan dan tersenyum padaku. Aku mulai tersadar bahwa apa yang sedang aku alami kali ini ada sebuah kesalahan dan aku harus cepat untuk memperbaikinya. Berkata merubah tapi tak berubah. Itulah kesalahanku.
Aku jadi teringat dengan kajian urgensi amalah yaumiyah yang diadakan oleh sekolah kader dakwah. Setiap amal tergantung niatnya, dan setiap amalah yang kita miliki patut untuk dievaluasi. Setiap aku dan kawan-kawanku ikut halaqoh, yang selalu aku khawatirkan yang tentang amalan yaumiyah. Apakah ada peningkatan, menetap, atau bahkan turun. Amalan yang paling dicontrol oleh murobbi meliputi shalat berjamaah, Qiyamul lail, Tilawah Qur’an dan dzikir pagi dan petang dengan membaca al-Ma’tsurat. Sudah tak perlu ditanya lagi apakah kau shalat subuh atau apakah kau shalat isya dst. Sekarang yang harus dievaluasi adalah apakah kau shalat berjamaah di masjid?dst. Teringat seorang ustadz memaparkan evaluasi amal yaumi dari Sayyid Quthb r.a. bahwa shalat berjamaah di masjid bagi kaum adam adalah harus dikerjakan. Karena cerminan diri kita akan terlihat dari bagaimana shalat kita. Bila shalat baik maka baiklah amalnya. Jika shalatnya rusak maka rusaklah amalannya. Allah swt. berfirman dalam ayat cinta-Nya, ‘ dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang rukuk.’ (Al-baqarah:43). Saat adzan berkumandang maka segerakanlah shalat. Seorang sahabat pernah membacakan cerita tentang Bilal bin Rabbah, beliau terkenal sebagai mu’adzin pada masanya. Dan yang membuat aku terngiang adalah perkataan bilal pada saat beliau akan tiada. “wahai umat terbaik Rasulullah, saat adzan berkumandang dimana-mana aku pun sedang ikut berseru padamu untuk segera menunaikan shalat. Berseru untuk menghadap Sang Illah, maka segerakanlah.” Mengapa shalat berjamaah itu dianjurkan pada umat Rasulullah, karena ada beberapa keutamaan dalam shalat berjamaah, diantaranya; kau akan mendapat pahala 27 derajat, diampuni dosa-dosanya, kau pun akan mendapat naungan Allah swt. di hari kiamat, kau pun akan merasakan nikmatnya ukhuwah islamiyah dengan saudaramu dengan menjalin silaturahim sesame umat Islam, dan kau tau disanalah kau akan mendapatkan berbagai solusi dari masalah-masalah yang kau miliki, dengan berkumpul dengan orang-orang yang shaleh. selain itu ibadah-ibadah wajib atau pun sunnah begitu harus diperhatikan, seperti shalat subuh berjamaah. Allah swt. berfirman dalam ayat cinta-Nya, “Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula shalat) subuh. Sungguh shalat subuh disaksikan (oleh malaikat)” (al-sira’:78). Momentum inilah yang tak boleh terlewatkan karena momen inilah saat dimana kita dapat bermunajat pada Rabb. Apalagi apabila ditambah dengan ibadah sunnah shalat tahajud dan witir, Allah swt. pun memrintahkan, “dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Al-isra’:79).
Subhanallah, maha suci Engkau wahai Rabb semesta alam. Mohon ampun aku.
Dan aktivitas yang tak boleh tertinggal adalah tilawah Qur’an, karena Qur’an ini shahih li kulli zaman wa makan (benar disetiap waktu dan tempat). “sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur’an) dan melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, maka mereka itu mengjarapkan perdagangan yang tidak akan rugi, agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunia-Nya sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri.”
Subhanallah, walhamdulillah, walaailaahaillallah, wallohuakbar.
Allahuakhbar Allahuakbar. Tak terasa adzan dzuhur mulai berkumandang. Bilal sedang menyeru umat Rasulullah untuk segera shalat. Dia menepuk pundaku sambil tersenyum dengan isyarat mengajakku untuk beranjak segera mendirikan shalat.
Kau tahu? dia kawan dermawan dalam berkah, selalu mengingatkan dalam kekhilafan, mengajak dalam kebaikan, saling memberik kasih dan sayang sesame muslim. Ya Rabb jadikan kami hamba-Mu yang bersyukur.
Alhamdulillah.