Bismillah,
Saat aku awali pagi hari dengan kegelisahan maka aku akan mengalami
kegelisahan yang berkepanjangan jika aku tak pintar-pintar mengelola
kegelisahan itu. Aku teringat hari itu saat aku masih berada dalam
kegelapan, entah aku berada dimana. Aku tenggelam dalam kesendirian yang
mendalam. Mataku menatap kosong, pikirku juga kosong. Hari itu aku
benar-benar tenggelam dalam lamunanku. Duduk kaku di sebuah bangku taman
kampusku. Menghela nafas panjang, entah harus kemana aku beranjak
pergi. Hidupku terasa hampa. Hari itu masih pagi, tapi aku masih asyik
dalam lamunanku, padahal yang aku lakukan hanya menatap ruang-ruang
kosong dihadapanku. Semilir angin menyadarkan ku dari lamunan, sontak
aku tersadar. Mulai ku melihat sekitar ruang kampusku. Tersadar, apa
yang sedang aku lakukan tadi. Aku menghela nafas panjang untuk kali ini.
Mulai ku gerakkan tubuhku dan berdiri, lalu beranjak pergi dari bangku
taman itu. Berjalan semakin jauh dari bangku taman itu. Namun, saat aku
berjalan aku berpikir akan kemanakah kaki ini berjalan? Hati ini mulai
mengalami kegundahan, kegelisahan, dan kegalauan yang mendalam. Tak
kuasa dengan apa yang aku alami aku berlari kencang menyusuri jalanan
kampus. Aku melewati bangunan megah disekitar kampusku, namun kini kaki
ku terhenti disebuah bangunan klasik ala timur tengah dengan hiasan
beberapa kaligrafi yang indah berwarna hijau. Aku tergopoh-gopoh dan
tertunduk lemas, sekiranya aku sudah mengeluarkan energi terlalu banyak
untuk berlari. Aku memegang kakiku yang bergetar, dan seketika tubuhku
kaku. Brugh. Tubuhku terjatuh tepat didepan bangunan itu. Aku tak
sadarkan diri.
Entah mengapa pagi itu suasana kampus begitu sepi. Apa karena cuaca hari
itu begitu mendung seakan rintikan hujan akan datang keroyokan
membasahi bumi. Tapi ternyata hanya awan mendung saja. Selang beberapa
menit kemudian, awan mendung itu berarak-arak kian pergi. Seakan giliran
sang mentari menampilkan dirinya, awan mendung itu pergi dan sang
mentari muncul dengan perlahan. Cahayanya menerangi bumi yang tadi
meredup, kini seakan bersinar begitu terang. Panasnya mulai terasa
membakar tubuhku, dan cahayanya menyoroti wajahku. Aku mulai tersadar
dan perlahan membuka mataku, spontan tangan ku menutupi wajahku karena
sinarnya menyilaukan mataku. Aku bangun dari ketidaksadaranku dan mulai
melumaskan tubuhku, sepertinya tubuhku terjatuh begitu keras karena
tubuhku terasa remuk. Aku berusaha untuk berdiri sambil menahan sakitku.
Perlahan aku mendekat pada sebuah pintu utama bangunan itu. Aku
berusaha memegang daun pintu itu, hendak membukanya. Setelah dapat ku
raih, aku mencoba membukanya dengan perlahan karena tanganku begitu
terasa kaku. Trek. Suara pintu yang terbuka. Aku membukanya lebar. Saat
pintu itu terbuka pandanganku mulai menyapu sekeliling ruangan.
Arsitektur yang klasik dan sederhana tak ada kesan sebuah keangkuhan,
yang ada sebuah kemegahan yang nyata. Aku melihat langit-langit atapnya
berwarna biru teduh terasa beratapkan kaca dan menembus kelangit biru.
Aku mulai melangkahkan kaki kananku kedalam bangunan itu. Lagi lagi
pandanganku melihat sekitar. Seketika terasa ada suara yang menggema
didalam bangunan itu, perlahan kaki ini melangkah mencari sumber suara
itu.
Ruangan yang begitu luas, dihiasi tiang-tiang besar yang kokoh. Terlihat
tiang itu begitu kuat, seakan menyanggah langit yang luas. Perlahan aku
melangkahkan kakiku dan mencari sumber suara itu. Semakin ku
melangkahkan kaki semakin suara itu mengeras. Terdengar lantunan ayat
suci yang begitu indah. Sampailah aku didepan ruang kecil, sebuah mihrob
yang klasik dengan warna dinding yang tidak begitu mencolok. Aku
melihat seorang pemuda yang sedang asyik melantunkan ayat-ayat
cinta-Nya. Begitu merdu membuat aku merasa tenang, sejuk, damai.
Senyumku tersimpul diwajah lusuhku.
Keadaan pagi dibangunan itu begitu sepi, sampai akhirnya karena nafasku
yang tergopoh-gopoh, membuat pemuda itu berhenti dalam lantunannya.
Tersadar seperti ada yang sedang meperhatikannya. Dengan perlahan dia
membalikan badannya. Sepasang bola mata kini bertemu dalam cahaya
kasih-Nya.
“Akh taufiq!” pemuda itu memanggil namaku dengan wajah yang heran. Dia
terbangun dalam duduknya dan merangkul tanganku mengajak untuk duduk
bersamanya, tepat dekat mihrob itu saling berhadapan satu sama lain.
“Akh, apakah kau baik-baik saja?” dia bertanya dengan penasaran. Aku
hanya terdiam. Karena aku benar-benar sedang dalam kebingungan. “Tunggu
sebentar, aku akan segera kembali” timpalnya kembali. Dia beranjak dan
pergi, berlari kecil kesebuah pintu yang tak begitu jauh dari mihrob
itu. Aku masih saja terdiam dan tertunduk. Selang beberapa menit, dia
pun keluar dari pintu itu dan datang kembali menghampiriku dengan
membawakan ku segelas air putih. Lalu dia duduk dihadapanku kembali,
sembari menyodorkan air putih itu, “baca basmallah dulu, ayo minum.” Aku
menerima segelas air putih itu dan segera aku mengucap basmallah, lalu
aku tegukkan airnya kedalam rongga-rongga tenggorokanku terasa nikmat,
sejuk, dan hilanglah sudah rasa dahaga ini. Saking hausnya air segelas
itu habis. Ini adalah air yang paling nikmat yang pernah aku rasakan.
Entah mengapa ini terasa begitu nikmat.
“ Akh taufiq!” kembali dia memanggil namaku. Aku menatapnya dan berkata,
“Ya”. Dia menghela nafas lega, aku lihat dia begitu khawatir pada
keadaanku. Dia menatapku lamat-lamat dan berkata, “ Adakah yang ingin
hendak kau ceritakan?”. Aku tertunduk dan bingung. Dia tersenyum, “Ya
sudah, sekarang coba kau baringkan tubuhmu dan beristirahatlah sebentar”
sambil menepuk pundakku. Aku pun mengangguk. Lalu ku baringkan tubuhku
yang kaku dan mencoba untuk merelaksasinya. Dia kembali mengambil
musyafnya dan melanjutkan lantunan ayat-ayat cinta-Nya. Suaranya begitu
merdu, seakan merelaksasi pikiranku dan merasuk kedalam jiwa. Perlahan
mataku mulai berat, aku ingin menahan rasa kantuk ini. Tapi, entah
mengapa ini terasa begitu nikmat. Kini mataku terpejam.
*
“Akh taufiq! Bangun akh!” dia mengusap-usap tubuhku dengan lembut. Dia
tak berubah masih saja seperti dulu. Selalu bersikap begitu lembut.
Perlahan aku membuka mata dan menghela nafas panjang. Saat ku membuka
mata, kulihat senyuman tersimpul diwajahnya. Aku bangun dari tidurku,
dan mencoba duduk tegak sambil meregangkan otot-otot tubuhku yang terasa
kaku. Kini setelah beristirahat sebentar otot-ototku terasa ringan.
Kembali aku menatapnya dan ku balas senyumannya. “ Yuk ambil wudhu, kita
shalat dhuha bareng” sambil merangkul tanganku. Ku lihat jam dinding
didekat mihrob, waktu menandakan pukul 09.00 a.m. tak terasa tadi
tidurku lelap, tapi begitu efektif hanya membutuhkan satu jam saja. Dia
menarik tanganku membantuku untuk bangun dari tempat dudukku. Dan
mengajakku ke tempat dimana air berada untuk mengambil wudhu. Sebelum
mengambil wudhu dia memberiku beberapa kain, sarung kotak-kotak putih
coklat dan baju koko berwarna putih tulang untuk aku kenakan shalat
dhuha, karena tidak mungkin juga aku berhadapan dengan Sang Malik dengan
keadaan baju lusuh dan kotor.
Setelah aku mengganti pakaianku, aku mulai mengguyur air ke wajahku yang
lusuh, kurasakan kesejukan dan begitu merasuk dalam kalbu. Setelah
selesai berwudhu kami beranjak kembali ke tempat shaff dekat mihrob.
Allohuakbar. Takbiratulikhram mulai saling bersahutan. Entah kurasakan
begitu nikmatnya, tak terasa air mataku mulai terjatuh dipipiku. Setiap
takbirnya aku tak dapat menahan air mata ini. Teringat akan setiap dosa
yang ku lakukan. Setiap sujud tiba aku mulai merasakan kedamaian, tak
kuasa aku menahan kembali air mata ini. Kini air mata itu membanjiri
pipiku.
Assalamu’alaikum warohmatulloh. Akhir yang begitu damai.
Dia menepuk pundaku, “Akh, kau mulai membaik.” Ucapnya sambil tersenyum.
Tak kuasa aku menahan, aku merangkul dan memeluk tubuhnya. Dia pun
memeluku dengan erat sambil mengelus-eluskan tangan lembutnya ke
pundakku. “Semuanya akan baik-baik saja, akh” ucapnya dengan lirih. Dia
melepaskan pelukannya dan memegang pundakku kuat, ia berkata “ Sudahlah
akh, tak ada lagi drama-drama cengeng. Jangan terlalu berlarut dalam
kesedihan. Bukankah kau tahu Allah kurang menyukainya?” aku mengangguk
dan menghapus air mataku.
“Akh!” aku memanggilnya lirih. “Ya.” Ia menjawabnya sambil menatapku
lamat-lamat. Aku memberanikan diri untuk memulai ceritaku. “Akhir-akhir
ini hidupku terasa sukar. Seakan memikul beban yang sangat berat. Saat
aku diberikan amanah untuk berdakwah pada orang sekitar, aku merasa
tertekan karena ketidaksiapanku. Aku ingin lari layaknya pecundang, tapi
sesaat aku bingung haruskah aku berlari kemana? Apa aku sedang futur
akh. Dulu terasa saat aku menyampaikan banyak hal tentang Islam pada
adik-adik kita, aku begitu khawatir apa yang aku katakan tidak sesuai
dengan apa yang aku kerjakan, aku takut akan murka Allah padaku. Aku
merasa aku sudah terlalu jauh berjalan tapi aku tak tahu apa esensi dari
apa yang sudah aku alami. Terasa begitu hambar.” Aku terhenti tak kuasa
meneruskan kembali ceritaku padanya. Dia menepuk-nepuk pundaku dengan
lembut dan berkata, “Akh, luruskan niatmu dan fokuslah pada Allah
semata. Karena kegalauan, kegundahan dan kegelisahan yang terjadi padamu
sekarang bisa jadi karena kau sedang tidak fokus pada Allah. Akh, objek
dakwah kita yang pertama adalah diri kita sendiri. Diri kitalah yang
harus selalu senantiasa mengajak diri ini melaksanakan ibadah wajib
dengan baik, menyempurnakan ibadah wajib dengan melaksanakan ibadah
sunnah, dan selalu senantiasa tilawah qur’an dikala keadaan kita sedang
lapang ataupun sempit. Diri kitalah yang harus menjadikan diri ini
seorang ‘syakhsyiyatul islamiyyatush sholihatud da’iyah’ pribadi Islam,
sholeh, menjadi seorang da’i. Ini memang perkarang yang tiadalah mudah,
karena semuanya berawal dari dalam diri ini. Tapi apabila kita mulai
mencobanya dengan sungguh-sungguh Insya Allah, Allah akan memberikan
kemudahan. Dan kau tahu jalan menuju kesholehan kita yakni minhaj asasi
(dasar) hidup kita yaitu Al-Qur’an.” Dia menatapku dengan kesungguhan
dan tersenyum padaku. Aku mulai tersadar bahwa apa yang sedang aku alami
kali ini ada sebuah kesalahan dan aku harus cepat untuk memperbaikinya.
Berkata merubah tapi tak berubah. Itulah kesalahanku.
Aku jadi teringat dengan kajian urgensi amalah yaumiyah yang diadakan
oleh sekolah kader dakwah. Setiap amal tergantung niatnya, dan setiap
amalah yang kita miliki patut untuk dievaluasi. Setiap aku dan
kawan-kawanku ikut halaqoh, yang selalu aku khawatirkan yang tentang
amalan yaumiyah. Apakah ada peningkatan, menetap, atau bahkan turun.
Amalan yang paling dicontrol oleh murobbi meliputi shalat berjamaah,
Qiyamul lail, Tilawah Qur’an dan dzikir pagi dan petang dengan membaca
al-Ma’tsurat. Sudah tak perlu ditanya lagi apakah kau shalat subuh atau
apakah kau shalat isya dst. Sekarang yang harus dievaluasi adalah apakah
kau shalat berjamaah di masjid?dst. Teringat seorang ustadz memaparkan
evaluasi amal yaumi dari Sayyid Quthb r.a. bahwa shalat berjamaah di
masjid bagi kaum adam adalah harus dikerjakan. Karena cerminan diri kita
akan terlihat dari bagaimana shalat kita. Bila shalat baik maka baiklah
amalnya. Jika shalatnya rusak maka rusaklah amalannya. Allah swt.
berfirman dalam ayat cinta-Nya, ‘ dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah
zakat, dan rukuklah beserta orang-orang rukuk.’ (Al-baqarah:43). Saat
adzan berkumandang maka segerakanlah shalat. Seorang sahabat pernah
membacakan cerita tentang Bilal bin Rabbah, beliau terkenal sebagai
mu’adzin pada masanya. Dan yang membuat aku terngiang adalah perkataan
bilal pada saat beliau akan tiada. “wahai umat terbaik Rasulullah, saat
adzan berkumandang dimana-mana aku pun sedang ikut berseru padamu untuk
segera menunaikan shalat. Berseru untuk menghadap Sang Illah, maka
segerakanlah.” Mengapa shalat berjamaah itu dianjurkan pada umat
Rasulullah, karena ada beberapa keutamaan dalam shalat berjamaah,
diantaranya; kau akan mendapat pahala 27 derajat, diampuni dosa-dosanya,
kau pun akan mendapat naungan Allah swt. di hari kiamat, kau pun akan
merasakan nikmatnya ukhuwah islamiyah dengan saudaramu dengan menjalin
silaturahim sesame umat Islam, dan kau tau disanalah kau akan
mendapatkan berbagai solusi dari masalah-masalah yang kau miliki, dengan
berkumpul dengan orang-orang yang shaleh. selain itu ibadah-ibadah
wajib atau pun sunnah begitu harus diperhatikan, seperti shalat subuh
berjamaah. Allah swt. berfirman dalam ayat cinta-Nya, “Laksanakanlah
shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan
pula shalat) subuh. Sungguh shalat subuh disaksikan (oleh malaikat)”
(al-sira’:78). Momentum inilah yang tak boleh terlewatkan karena momen
inilah saat dimana kita dapat bermunajat pada Rabb. Apalagi apabila
ditambah dengan ibadah sunnah shalat tahajud dan witir, Allah swt. pun
memrintahkan, “dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud
(sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu
mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Al-isra’:79).
Subhanallah, maha suci Engkau wahai Rabb semesta alam. Mohon ampun aku.
Dan aktivitas yang tak boleh tertinggal adalah tilawah Qur’an, karena
Qur’an ini shahih li kulli zaman wa makan (benar disetiap waktu dan
tempat). “sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah
(Al-Qur’an) dan melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki
yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan,
maka mereka itu mengjarapkan perdagangan yang tidak akan rugi, agar
Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunia-Nya
sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri.”
Subhanallah, walhamdulillah, walaailaahaillallah, wallohuakbar.
Allahuakhbar Allahuakbar. Tak terasa adzan dzuhur mulai berkumandang.
Bilal sedang menyeru umat Rasulullah untuk segera shalat. Dia menepuk
pundaku sambil tersenyum dengan isyarat mengajakku untuk beranjak segera
mendirikan shalat.
Kau tahu? dia kawan dermawan dalam berkah, selalu mengingatkan dalam
kekhilafan, mengajak dalam kebaikan, saling memberik kasih dan sayang
sesame muslim. Ya Rabb jadikan kami hamba-Mu yang bersyukur.
Alhamdulillah.